Skip to main content

Tentang Teman Pena, Surat-surat dan Seperangkat Ingatan Lalu

doc pribadi


Inilah akibat memfollow akun-akun milik orang yang tulisannya kita sukai. Beberapa postingan mereka kerap menggelitik otak dan memunculkan kegelisahan-kegelisahan baru yang memaksa untuk segera dituliskan.

Saya penganut keyakinan bahwa membiarkan ide berjejalan di otak sama halnya dengan menahan hasrat ingin kencing. Itu sungguh tidak enak dan menyakitkan. Karenanya saya harus meneruskan pertanyaan dari Agusnoor yang ia posting di akun IG miliknya. “Siapakah yang hari ini masih suka berkirim surat?” tanyanya dengan gambar sebuah amplop surat beserta kertas (tentu yang dimaksud bukan surat tagihan listrik, kreditan, promosi, iklan dan lain sebagainya.)

Ingatan saya langsung mengarah kepada sebuah kardus sandal yang dulu saya simpan di kolong almari pakaian. Buru-buru saya angkat papan tebal yang menutupinya lalu mengeluarkan kardus beserta seluruh isinya. Ada tumpukan surat-surat lawas, beberapa kartu ucapan ulang tahun, ucapan hari raya dan diary-diary kecil. Saya pun tak ingat detail isi masing-masing karena mereka sudah hampir saya lupakan lebih dari 10 tahun yang lalu (lebih tepatnya saya sengaja lupakan agar kelak bila saya ingat atau menemukannya kembali saya akan merasa bahagia karena memperoleh hiburan yang tak bisa dibeli di belahan dunia manapun).

Dari sana saya mulai ingat betul siapa saja orang-orang yang dulu sering berkabar dengan saya. Seorang teman sekalas waktu SMP dan seorang teman yang harus pindah dan meneruskan sekolahnya di sebuah pesantren di Jawa Timur. Yang pertama lucu memang, saya berkirim surat melalui pos dengan seorang teman sekelas. Kalau setiap hari bertemu mengapa harus berkirim surat via pos? Saya pun lupa alasannya, mungkin kami merasa lebih keren kalau ada Pak Pos datang ke rumah mengantar surat sekalipun surat itu berasal dari seseorang yang jaraknya hanya 1-2 km dari rumahmu.

Belum saya baca kembali apa isinya tapi ada beberapa yang masih saya ingat, seperti teman saya berkata mengapa bahasa saya kaku sekali di surat, lalu ia menyarankan untuk menggunakan bahasa santai dan yang dianggap sedikit ‘gaul’ –pada masa itu. Ha, mungkin saya canggung dan belum berbiasa harus berkabar via pos.

Teman saya itu kerap sekali memakai kertas lucu-lucu penuh warna untuk menulis surat, lalu saya bertanya darimana ia mendapat kertas dengan gambar kue-kue lucu di bagian tepinya. Kemudian dia menjelaskan kalau kertas-kertas itu ia buat sendiri dari komputer miliknya. Ia memilih-milih gambar lucu, menaruhnya di bagian tepi lalu mencetak dengan printer yang ia miliki. Tentu saya tak bisa mempraktikannya, jangankan punya komputer, pada masa itu, mengoperasikannya saja saya masih gagap. Tapi ia memberi tawaran yang baik, besoknya ia berjanji akan memberi saya beberapa kertas bergambar buatannya. Cukup aneh bukan, ia memberi kertas surat yang akan saya gunakan untuk menulis surat untuknya.

Lalu teman pena saya yang ke dua, tak lain adalah tetangga sendiri. Meskipun bertetanggaan, namun kami gemar sekali bertukar surat –tanpa pos tentunya. Lalu ketika dia harus pindah ke pesantren, barulah kami benar-benar menjadi teman pena. Di pesantren, dia hanya menggunakan 2 bahasa, Inggris dan Arab. Karena takut tertinggal kemampuan, saya memintanya untuk menulis dalam bahasa Inggris saja, itung-itung membantu saya belajar, pikir saya kala itu. Dan benar, dia sering kali menggunakan bahasa inggris. Dia bercerita meski perkembangan bahasa sangat diutamakan di tempat itu namun penggunaan media elektronik sangat dibatasi.

Suatu ketika dalam suratnya dia meminta saya untuk mengajarinya mengoperasikan handphone -nanti ketika dia sudah kembali ke rumah. Aneh sekali, di sana diajarkan banyak bahasa manca negara, mengoperasionalkan komputer tapi tidak dengan handphone. Jadi, sewaktu anak-anak di kampung saya sedang bereuforia mengirim pesan kepada orang yang mereka suka, si teman saya itu sama sekali tidak tahu bagaimana caranya mengirim pesan. Waktu itu saya pun belum memiliki handphone. Barang itu hanya terjamah oleh kalangan tertentu. Teman pena saya itu kebetulan berasal dari keluarga yang cukup berada, dia punya tapi tidak tahu cara memakainya, kebalikan dengan saya.

Semenjak masa kecil saya sudah diberi gambaran dua kehidupan yang berbeda. Bagaimana teman saya mengenyam pendidikan dengan culture agama yang kuat dan saya yang menghujaninya dengan cerita-cerita duniawi dari kehidupan sehari-hari saya.

Itu sepenggal cerita dari masa lalu bersama teman pena. Beranjak SMA saya sudah tidak pernah lagi berkabar via surat. Saat itu hp sudah mulai merebak dan anak yang berkirim surat mulai mendapat lirikan aneh dari anak-anak yang lain. Jangan ditanya bagaimana sekarang saya berkomunikasi dengan mereka, fb, twitter, instagram, waa, line, bbm, blog, path dan sejenisnya berebut untuk saling digunakan.

Mudah, dan cepat alat komunikasi sekarang. Tapi, tetap ada rasa yang berbeda ketika saya menerima pesan bbm dibanding dengan ketika Pak Pos datang untuk menyerahkan sepucuk surat dari salah seorang teman pena. Walau begitu -kata pasangan saya, segala hal dan kemudahan tetap perlu disyukuri. Setidaknya saya bersyukur pernah hidup di jaman di mana berkirim pesan tidak semudah membalikkan tangan. Dari sana saya belajar, bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan susah payah dan perlu proses panjang itu hasilnya akan lebih manis, berkesan dan dalam.

Demikian jawaban saya untuk Agusnoor. Ngomong-ngomong, dia penulis yang baik sekali, beberapa bulan lalu dia mengijinkan saya untuk mengutip puisi miliknya ke dalam undangan pernikahan saya. Hari ini dia merespon dan merepost postingan IG saya terkait teman pena. Ingin sekali saya bertukar sapa dan berbagi cerita dengannya.


#pensilramadan


Comments

Popular posts from this blog

China Diserang Pneumonia, Indonesia Tak Perlu Panik!

Unsplash.com/Diana Polekhina Pasca membaik dari Covid 19, publik kembali dikhawatirkan dengan berita munculnya wabah baru Pneumonia. Entah kebetulan atau bukan tapi wabah ini lagi-lagi datang dari negara tempat bermulanya Covid 19 yaitu China. Kasus pneumonia ini pertama dilaporkan pada 13 november 2023 lalu. Global times menyebut rumah sakit anak di China sudah kewalahan menerima pasien yang berjumlah rata-rata mencapai 9378 setiap harinya. WHO sendiri mengaku memantau mengenai peningkatan pneumonia yang sedang terjadi di China.  Prof Francois Balloux dari University College London menyebut adanya istilah hutang imunitas. Lockdown yang terjadi ketika covid 19 memicu fenomena keluarnya gelombang infeksi pernapasan. China sendiri diketahui melakukan lockdown lebih lama dibanding dengan negara-negara lain sehingga potensi terpaparnya akan lebih besar. Menanggapi fenomena yang tejadi di negaranya, Mi Feng selaku Komini Kesehatan Nasional menyampaikan bahwa pihaknya telah mengupayakan bebe

Jurus Anti Rugi Hidup di Era Digital!

      Sumber : Doc.Pribadi/irerosanaullail   Rugi banget kalau kita hidup di era digital dengan segala kemajuan dan kemudahan dalam berbagai hal tapi kita malah memilih rebahan di rumah dan menjadi penonton serta penikmat dari buah kemajuan tersebut. Kenapa tidak mencoba mengambil peran dan memaksimalkan diri di era ini?! Mulai berbisnis contohnya. Era digital bisa dibilang sangat ramah kepada para pebisnis. Maraknya sosial media serta keberadaan aneka marketplace memudahkan para pelaku bisnis pemula untuk memasarkan produk-produknya. Tentunya kesempatan ini amat sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Salah satu bisnis yang cukup diminati di era digital adalah kuliner. Bisnis kuliner digadang-gadang tidak akan pernah mati. 271 juta jiwa penduduk Indonesia butuh makan untuk melanjutkan hidup. Itulah salah satu alasan mengapa bisnis kuliner akan senantiasa panjang umur. So , tidak ada salahnya jika kita juga melirik bisnis ini. Masalahnya adalah, apa yang ingin dijual? Di sin

100 Blogger dan Sejuta Optimisme dalam Anniversary ke 9th Bloggercrony

  dokpri/irerosana “Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok. Belajarlah seolah-olah kamu hidup selamanya.” Itulah quotes yang menjadi pecutan saya untuk terus mengembangkan diri khususnya di dunia tulis menulis. Menjadi seorang blogger memang dituntut untuk terus belajar dan belajar karena itulah salah satu amunisi yang bisa kita pakai untuk bisa terus menulis. Belajar tidak melulu harus di depan buku dan laptop. Berinteraksi dan berkumpul antar sesama blogger pun bisa menjadi jalan untuk menambah ilmu. Keyakinan itulah yang saya bawa ketika hadir pada perayaan 9 tahun Bloggercrony yang diadakan di Carro Indonesia Pondok Indah. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjalin relasi serta menimba ilmu dengan bertemu kurang lebih 100 blogger dari berbagai daerah di Indonesia. Usia saya di Bloggercrony memang masih seumur jagung, baru beberapa bulan bergabung dan bahkan belum genap setahun. Ibarat bayi saya masih belajar untuk merangkak secara tegak. Karena itulah perayaan