Skip to main content

Perkara Makan dan Saudaranya




Makan adalah perkara rumit dalam hidup saya. Ini tak semudah seperti yang digambarkan orang-orang yang berkata bahwa itu hanya soal punya duit atau tidak. Makan bagi saya lebih rumit dari itu. Kakak saya pernah bilang, menyuruh saya makan itu seperti menyuruh orang ‘macul’ sawah. Begitulah yang ia tangkap. Saya tidak menganggap itu salah pun tidak membenarkan. Memang terasa berat, tapi tidak seperti mencangkul yang memerlukan cukup tanggung jawab. Menurut saya, disuruh makan itu sama halnya disuruh menimba air sumur dengan ember ukuran mini, ringan sih, tapi malas untuk memulainya apalagi menikmatinya.

Perkara makan memang rumit bagi saya, itu juga jawaban atas pertanyaan orang-orang, mengapa saya masih kurus-kurus saja seperti sekarang. Kamu mungkin pernah punya sesuatu yang tidak kamu sukai, misal membaca buku bagimu adalah hal yang membosankan, membahas politik adalah topik yang kamu hindari, membicarakan tetangga adalah hal yang kamu benci. Saya pun mempunyai kegiatan yang tidak saya sukai seperti kalian, dan kebetulan itu adalah makan.

Saya pernah berkata, saya makan hanya karena itu adalah kewajiban manusia hidup, saya makan agar saya tidak mati dan perut saya tidak melilit.

Tapi pandangan saya berubah ketika membaca buku “Aruna dan Lidahnya”. Saya tidak berkata buku tersebut bagus terutama soal penggabungan antara kegiatan kuliner dengan konspirasi flu unggas. Saya merasa ke dua hal tersebut tidak melebur. Mereka tidak berhasil kawin seperti Ayu Utami mengawinkan sejarah candi-candi Indonesia dengan peristiwa Gestapu dalam buku Manjali dan Cakrabirawa. Meski tidak kawin, tapi saya suka sekali dengan cara Laksmi Pamuntjak memaparkan bahwa kegiatan kuliner bisa menjadi sangat idealis, berdaya tarik dan menggairahkan. Saya seperti tertarik untuk makan dan terlibat dalam proyek menjelajahi kuliner ala Aruna dan kawan-kawannya.

Dari sanalah ketertarikan saya akan kuliner muncul. Perlahan saya membuka diri untuk menerima makanan dan mencoba menggali sisi menarik dari sebuah makanan. Lalu mulai tertarik mendatangi kedai atau tempat-tempat kuliner yang kata orang rekomended untuk memanjakan lidah. Dari sana sensitivitas indra pengecap yang selama puluhan tahun ini tertidur mulai bangun. 

Saya tetap bukan seorang ahli kuliner, bukan pula koki yang handal, tapi saya mulai mencoba memasak sendiri makan yang saya dan suami saya makan. Karena sering masak, saya mulai paham patern bumbu yang pas untuk lidah saya. Lidah suami tidak saya jadikan tolak ukur mengingat dia seorang omnivora, memakan segala jenis makanan dengan lahap, tanpa peduli enak atau tidaknya. Kebiasaan menjajal kuliner ke luar rumah pun jadi berkurang, hanya sesekali saja saya lakukan, sekadar ingin meningkatkan sesitivitas indra pengecap. Yang paling jelas dari kegiatan makan saya adalah, saya memasak dan memakan apa-apa saja yang ingin saya makan, tak peduli itu pepes tahu, sambal terasi atau sekadar bayam yang direbus. Asal saya ingin memakannya, maka saya makan.

Tetangga sering berkomentar, mengapa saya memasak masakan yang murah? Mengapa saya tidak memasak daging ayam/ sapi? Tentu menjadi hal sulit menjelaskan kepada mereka histori makan saya. Saya hanya tahu sesuatu yang ingin saya makan dan saya memasaknya, tidak peduli entah itu daging atau ikan atau telur. Saya mungkin masak ikan yang kebetulan tetangga tidak tahu dan tak perlu juga saya beritahu. Tapi saya membalas mereka dengan jawaban sewajarnya supaya dianggap ibu-ibu normal, “iya Bu, lagi pengiritan, maklum banyak cicilan buku yang harus saya bayar.” 

Tentu soal buku hanya karangan saja.

Masalah baru muncul ketika suami saya kerja ke luar kota. Saat itu tidak ada yang bisa menyelamatkan rasa masakan saya. Rasanya amburadul, seolah masakan-masakan yang lalu itu tercipta hanya untuk suami dan hanya akan enak apabila ada suami. Tak heran saat dia dinas jauh, berat badan saya semakin tak keruan, saya mulai membeli masakan praktis yang lebih sering tidak cocok di lidah dan mungkin kurang menyehatkan. 

Tapi lain dengan hari ini. Saya memasak tumis daun singkong dipadu dengan teri Medan, oleh-oleh dari tetangga depan rumah. Daun singkong saya beri dari seorang Bapak tua yang berkeliling dengan menggunakan gerobak. Di lihat dari jenis-jenis sayur yang ia bawa, sepertinya itu semua hasil kebun sendiri. Harganya tidak semahal parkiran Jakarta, hanya seribu rupiah. Dengan harga segitu, bagaimana mungkin saya tidak tertarik untuk membelinya, meski awalnya saya bingung bakalan saya apakan daun singkong tersebut. 

Selang sehari di kulkas setelah sebelumnya direbus sampai empuk, saya menumisnya. Waallaaa... dari semua masakan yang saya makan, entah mengapa hari ini yang terasa paling enak. Padahal saya tidak menambahkan telur sebagai lauk pun ayam atau ikan goreng.  Saya memakannya hanya dengan secentong nasi, tanpa bantuan apapun. Saya makan begitu lahap dan begitu kenyang dan puas ketika selesai. Bahkan saya tidak sabar menunggu siang dan malam tiba untuk kembali memakannya. Tak disangka hari ini saya dibahagiakan oleh tumis daun singkong seharga seribu rupiah.

Saya pikir kerumitan menyoal makanan saya telah berakhir, nyatanya ini menjadi hal rumit yang tak akan pernah saya pahami.

Dari semua yang saya katakan, kamu pasti paham, saat orang-orang memamerkan makanan mahal kelas restoran dan hotel bintang lima di timeline mereka, dan apabila itu adalah usaha pamer untuk saya, sungguh, saya tidak menangkap maksudnya. Tapi dari cerita ini, kamu harusnya menangkap maksud saya.

Comments

Popular posts from this blog

China Diserang Pneumonia, Indonesia Tak Perlu Panik!

Unsplash.com/Diana Polekhina Pasca membaik dari Covid 19, publik kembali dikhawatirkan dengan berita munculnya wabah baru Pneumonia. Entah kebetulan atau bukan tapi wabah ini lagi-lagi datang dari negara tempat bermulanya Covid 19 yaitu China. Kasus pneumonia ini pertama dilaporkan pada 13 november 2023 lalu. Global times menyebut rumah sakit anak di China sudah kewalahan menerima pasien yang berjumlah rata-rata mencapai 9378 setiap harinya. WHO sendiri mengaku memantau mengenai peningkatan pneumonia yang sedang terjadi di China.  Prof Francois Balloux dari University College London menyebut adanya istilah hutang imunitas. Lockdown yang terjadi ketika covid 19 memicu fenomena keluarnya gelombang infeksi pernapasan. China sendiri diketahui melakukan lockdown lebih lama dibanding dengan negara-negara lain sehingga potensi terpaparnya akan lebih besar. Menanggapi fenomena yang tejadi di negaranya, Mi Feng selaku Komini Kesehatan Nasional menyampaikan bahwa pihaknya telah mengupayakan bebe

Jurus Anti Rugi Hidup di Era Digital!

      Sumber : Doc.Pribadi/irerosanaullail   Rugi banget kalau kita hidup di era digital dengan segala kemajuan dan kemudahan dalam berbagai hal tapi kita malah memilih rebahan di rumah dan menjadi penonton serta penikmat dari buah kemajuan tersebut. Kenapa tidak mencoba mengambil peran dan memaksimalkan diri di era ini?! Mulai berbisnis contohnya. Era digital bisa dibilang sangat ramah kepada para pebisnis. Maraknya sosial media serta keberadaan aneka marketplace memudahkan para pelaku bisnis pemula untuk memasarkan produk-produknya. Tentunya kesempatan ini amat sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Salah satu bisnis yang cukup diminati di era digital adalah kuliner. Bisnis kuliner digadang-gadang tidak akan pernah mati. 271 juta jiwa penduduk Indonesia butuh makan untuk melanjutkan hidup. Itulah salah satu alasan mengapa bisnis kuliner akan senantiasa panjang umur. So , tidak ada salahnya jika kita juga melirik bisnis ini. Masalahnya adalah, apa yang ingin dijual? Di sin

100 Blogger dan Sejuta Optimisme dalam Anniversary ke 9th Bloggercrony

  dokpri/irerosana “Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok. Belajarlah seolah-olah kamu hidup selamanya.” Itulah quotes yang menjadi pecutan saya untuk terus mengembangkan diri khususnya di dunia tulis menulis. Menjadi seorang blogger memang dituntut untuk terus belajar dan belajar karena itulah salah satu amunisi yang bisa kita pakai untuk bisa terus menulis. Belajar tidak melulu harus di depan buku dan laptop. Berinteraksi dan berkumpul antar sesama blogger pun bisa menjadi jalan untuk menambah ilmu. Keyakinan itulah yang saya bawa ketika hadir pada perayaan 9 tahun Bloggercrony yang diadakan di Carro Indonesia Pondok Indah. Saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menjalin relasi serta menimba ilmu dengan bertemu kurang lebih 100 blogger dari berbagai daerah di Indonesia. Usia saya di Bloggercrony memang masih seumur jagung, baru beberapa bulan bergabung dan bahkan belum genap setahun. Ibarat bayi saya masih belajar untuk merangkak secara tegak. Karena itulah perayaan